Mount Kelimutu

                
       Mount Kelimutu, with its tri-colored crater lakes, is probably the amazing natural phenomenon in Flores. At present, one of lakes is black-brown, one is green, and one is currently changing from green to a reddish color. 
       The first lake is named Tiwu Ata Mbupu (lake of the ancestros' souls), tbe second is named Tiwu Nuwa Muri Koo Fai (lake of young people's souls), and the third is called Tiwu Ata Polo (lake of evil spirits). The first and second lakes are situated close together, while the third lake is about 1.5 km to the west.
        The Kelimutu crater lakes are only a small part of the Kelimutu National Park. This fascinating area belongs to the worldwide protected areas and is internationally recognized by the United Nations Environment Program. Due to its unique natural natural features, its high biodiversity, and cultural heritage, Kelimutu National Park attracts thousand of tourists each year. Numerous hills and mountains (Mount Kelibara is the highest peak 1,731 m) give this region its characteristic touch and provide a habitat for at least 19 rare, endemic bird species.


  sumber: http://www.florestourism.com/where-to-go/kimutu
  sumber: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgU4ju5bwyDJwfWS9ZzRcbQvknzACeu_SI4tJ4QXxFDe2VytyNgpYWwpYEVceffWrnKE1_YjedRIhw-LVLiIZxzxs4S7bso_b9-U-N6EmpIHGiQi_AZuk_MYnbIt3pCgjxaBo7mpSHcFyU/s400/images+%25284%2529.jpg
Share:

Perang Diponegoro

       Perang Diponegoro ber-langsung antara tahun 1825-1830 di daerah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Pemimpin perang yang banyak merugikan pasukan Belanda ini adalah Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, perang ini disebut Perang Diponegoro.
        Pangeran Diponegoro adalah cucu Sultan Yogyakarta, yaitu Sultan Hamengku Buwono II. Pada masa itu Belanda telah menguasai Yogyakarta. Pangeran Diponegoro tidak tahan melihat penderitaan rakyat. Rakyat dibebani dengan berbagai kewajiban seperti membayar pajak. Mereka harus memenuhi kebutuhan orang Belanda dan para Bangsawan istana yang telah menjadi kaki tangan penjajah. Selain itu, Belanda pada masa itu selalu ikut campur dalam urusan pemerintahan istana, seperti saat penobatan Sultan Yogyakarta. Setelah Sultan Hamengku Buwono IV wafat, Belanda mengangkat putra mahkota, yaitu Jarot sebagai Sultan Yogyakarta, padahal usianya saat itu baru tiga tahun. Oleh karena itu, Pangeran Paku Alam I dan Pangeran Diponegoro melindungi putra mahkota ini. Dalam pemerintahannya, Sultan Yogyakarta diatur oleh Belanda. Sultan hanya dijadikan sebagai lambang pemerintahan saja. Wali dari putra mahkota Jarot, yaitu Pangeran Paku Alam I dan Pangeran Diponegoro tidak diberi kesempatan oleh Belanda untuk memerintah. Selanjutnya, di dalam pemerintahan istana Yogyakarta diatur oleh residen Smissert. Smissert inilah yang memicu meletusnya Perang Diponegoro, yaitu pada tahun 1825. Terjadinya Perang Diponegoro diawali oleh pihak Belanda yang membuat jalan dari Yogyakarta ke Magelang melalui Tegalrejo tanpa persetujuan Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro dan rakyatnya merasa tersinggungdan marah karena Tegalrejo adalah tempat makamnya leluhur Pangeran Diponegoro.
       Perang Diponegoro berdampak besar bagi pemerintah kolonial Belanda dan berlangsung cukup lama. Pangeran Diponegoro dibantu oleh Pangeran Mangkubumi, Kyai Mojo, Sentot Alibasyah Prawirodijo, dan beberapa pangeran lainnya yang sudah anti-Belanda. Belanda kalang kabut menghadapi siasat dan perlawanan rakyat yang juga menggunakan taktik gerilya. Menghadapi perlawanan tersebut, Belanda menerapkan siasat benteng stelsel (sistem benteng) atas perintah Jenderal De Kock. Dengan siasat ini, tentara Belanda mendirikan benteng di setiap daerah yang dikuasainya dan diantara benteng-benteng itu dibuat jalan raya. Akibatnya, pasukan Diponegoro mengalami kesulitan karena hubungan antarpasukan dan dengan rakyat menjadi sulit. Rakyat dihasut dan diadu domba dengan politik divide et impera. Kekuatan pasukan Diponegoro pun semakin lemah karena banyak pemimpin yang gugur, tertangkap, atau menyerah.
     Pada tahun 1828 Kyai Mojo ditangkap dan diasingkan ke Manado. Pada tahun 1849 beliau wafat didaerah tersebut. Pada tahun 1829 Sentot Alibasyah Prawirodirjo diajak berunding, tetapi akhirnya ia ditangkap. Setelah itu ia dimanfaatkan untuk Perang Paderi, ia dibuang ke Cianjur, kemudian ke Bengkulu dan meninggal disana tanggal 17 April 1855. Pada tahun 1829 Pangeran Mangkubumi yang sudah berusia lanjut juga terpaksa menyerah. Begitu pula dengan putra Pangeran Diponegoro, yaitu Pangeran Dipokusumo juga menyerah pada tahun 1830.
        Selanjutnya, Jenderal De Kock menawarkan diadakannya perundingan kepada Pangeran Diponegoro. Perundingan ini sebetulnya hanya siasat untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro akhirnya bersedia mengadakan perundingan dengan Belanda di Magelang. Akhirnya, tahun 1830 dalam perundingan yang penuh tipu daya itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado. Kemudian, ia dipindahkan ke Makassar. Pada tanggal 8 januari 1855 Pangeran Diponegoro wafat di Benteng "Rotterdam", Makassar.

           Penulis: M. Junaedi Al Anshori
           Penerbit: PT. Mitra Aksara Panaitan, JAKARTA
Sumber: https://services.sportourism.id/fileload/93425499-8cfe-31d2-a32b-9ea02b5fa026.jpg
Share:

Perlawan Rakyat Maluku

     Perlawanan rakyat Maluku di Saparua terhadap pemerintahan kolonial Belanda dipimpin oleh Kapiten Pattimura atau Thomas Matulessy. Ada pula pejuang lainnya, seperti Anthony Rhebok, Thomas Pattinael, bahkan ada juga seorang pejuang wanita yang sangat berani, yaitu Cristina Martha Tyahahu. Kapiten Patimura memimpin rakyat Saparua melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda karena tidak senang atas kebijakan baru yang bertentangan dengan kebijakan lama yang dikeluarkan Inggris. Saparua adalah nama daerah di sebelah timur Pulau Ambon. Dalam melakukan perlawanannya itu, mereka mendapat dukungan dari rakyat daerah lainnya di Maluku, seperti Seram dan Haruku.

       Menghadapi serangan ini, pemerintah kolonial belanda kemudian mengirimkan pasukannya yang dipimpin oleh Mayor Beeces. Pasukan kolonial Belanda ini pun berhasil dipukul mundur oleh rakyat Saparua. Begitu pula pasukan kolonial Belanda berikutnya di bawah pimpinan Letkol Mayer berhasil dipukul mundur. Kegagalan dan kekalahan pasukan kolonial Belanda ini menimbulkan kerugian yang besar pada pihak Belanda. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda menugaskan Buyskee ke Maluku. Buyskee ini, terkenal mempunyai akal yang licik untuk mengalahkan perlawanan rakyat Indonesia. Berkat tipu daya Buyskee ini, rakyat Saparua berhasil dibujuknya. Buyskee mengajukan janji-janji palsunya, antara lain menghapuskan hak ekstirpasi, menghapuskan Pelayaran Hongi, dan menghapuskan kewajiban menyerahkan hasil bumi. Hak ekstirpasi adalah kegiatan pemusnahan pohon rempah-rempah agar jumlahnya tifak terlalu banyak. Janji lainnya adalah menghapuskan monopoli sehingga rakyat bebas menanam rempah-rempah dan hasilnya dapat dijual kepada Belanda dengan harga agak tinggi. 
      Janji-janji palsu dari pemerintah kolonial Belanda ini menimbulkan kegembiraan pada rakyat. Akibatnya, perlawanan rakyat Saparua mulai melemah. Mengetahui semakin lemahnya perlawanan rakyat Saparua, pemerintah kolonial Belanda mulai mengadakan serangan balasan. Menghadapi serangan ini, rakyat Saparua menyadari bahwa janji-janji kolonial Belanda adalah palsu dan hanya siasat untuk melumpuhkan mereka. 
      Selanjudnya, rakyat Saparua kembali mengadakan perlawanan. Namun, perlawanan kali ini memgalami kekalahan. Kapiten Pattimura dan Christina Martha Tyahahu terus mengadakan perlawanan.
Karena mereka mengalami kekalahan terus-menerus, keduanya bersembunyi untuk menyusun kembali kekuatan. Namun, dalam serangan besar-besaran yang dilakukan Belanda pada bulan Oktober 1817, daerah penjajah, bahkan Kapiten Pattimura dan beberapa pejuang berhasil ditangkap. Selanjutnya, pada tanggal 16 Desember 1817 Kapiten Pattimura meninggal di tiang gantungan dalam Benteng Victoria di Ambon. Begitu pula, Christina Martha Tyahahu berhasil ditangkap oleh kolonial Belanda. Pejuang wanita yang masih muda belia dan berani ini, lalu diasingkan ke Pulau Jawa. Akan tetapi, dalam perjalanan yang menggunakan kapal laut, srikandi ini meninggal dunia dan jenazahnya dibuang ke laut oleh pasukan kolonial Belanda.

            Penulis: M. Junaedi Al Anshori
            Penerbit: PT. Mitra Aksara Panaitan, JAKARTA
Sumber:  https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvCONLx_8SguYlx-rtwnCjIX0O0fjEcqV6VZJlQhb0bWdJFSTWVWtaboY_eQqANDauze0HXAp0DnsRwskwGOdO22SssY5c1XR6_1nGQDAVB1sF0eDE7uqsn9NOeTgCzBpsnAED84UmI6ja/s1600/benteng+duurstede.jpg
Sumber: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbYhHa6CYxKwbVuY8myra3bM0eMle1Qg72thfXCHyV0xpAi5zRzOLoGt7fMEUaehmszn4cR6eWUZU_hFoebkSB6j90ZTW3Q-28ngupOUNGUKRAy6feu4o_0a64Z4tvNdKtjLVlD8SqdMQ/s1600/Martha_Christina_Tiahahu.jpg
Share:

Raden Fatahillah Berjualan di Pelabuhan


   Samudera pasai tahun 1510.
    Hari masih pagi benar. Seorang anak laki - laki sedang mendayung. Pelan - pelan saja dia menggerakkan tangannya. Perahunya kecil. Terbuat dari kayu bulat yang dilubangi. Orang - orang menyebutnya jukung. Perlengkapannya sederhana saja. Hanya sebuah jangkar dari kayu. Pada ujungnya diikat batu. Sekali dibuang ke dalam air akan menancap pada pasir. Jukung tidak akan bergerak - gerak lagi. Perlengkapan berikutnya adalah dayung. Hanya sebilah. Tetapi, bagi anak laki tersebut sudah cukup memadai. Dia bisa mondar - mandir dari rumahnya ke pelabuhan lalu balik lagi kerumah. Begitu kerjanya tiap hari. Beberapa keping logam didapatnya. Lalu ditukarkan dengan beras dan sekadar lauk - pauk untuk dimasak oleh emaknya.
      Ia dan emaknya tinggal di suatu rumah yang terpencil. Untuk mencapainya harus melalui sungai kecil. Setelah berkelok - kelok barulah sampai. Tampak rumah tersebut berdiri diatas tiang. Waktu air sungai melimpah, jukungnya ditambatkan dekat pintu. Ia dan emak sudah biasa dengan air. Tidak takut. Tidak ragu - ragu. Emaknyalah dulu yang selalu membawa perahu kecil itu ke ladang. Letak ladang di dekat bukit. Bisa ditempuh dengan perahu pula. Di ladang ini emaknya menanam palawija dan buah - buahan. Tiga bulan sekali hasil tanaman dipetik. Lalu, dibawa kepasar. Ia sekarang sudah berumur sepuluh tahun. Ia tidak tega kalau emaknya yang mendayung.
      "Mak," katanya pada suatu hari. "Mak di rumah saja. Biar aku yang pergi. Aku tahu kemana harus mejajakan dagangan. Percayalah padaku, Mak. Pekerjaan ini amat ringan bagiku."
       Emaknya terharu.
       "Hati - hati, anakku," kata emak
       "Doakanlah, mak, agar anakmu selalu selamat dan mendapat untung."
       "Kudoakan siang dan malam, anakku."
       Subuh dia sudah turun dari rumah. Dengan perahunya yang kecil itu dia membelah air. Di atas air itulah kehidupannya pelan - pelan matahari memperlihatkan diri. Lalu, teranglah dunia. Tetapi, kabut pagi masih juga menyelubungi pantai. Suasana tenang. Mula - mula dia menjual dagangnnya ke pasar. Walaupun dagangannya habis terjual, tetapi tidak seberapa besar untungnya.
       "Bagaimana kalau dicoba dipelabuhan?" pikir anak itu kemudian. "Ya, sebaiknya besok kucoba saja kesana."
        Besoknya, dia memenuhi perahunya dengan sayur - mayur, ikan, beberapa sisir pisang, dan durian. Di pelabuhan banyak kapal besar. Kelasi-kelasi kapal menyukai durian. Seketika dibeli semua sepuluh buah. Bukan main senangnya hati anak itu. Dia tinggal menjajakan sayur-mayur beserta ikan-ikannya. Kebetulan pula satu kapal tidak sempat menurunkan juru masaknya ke daratan untuk belanja. Anak itu dipanggil. Sayur-mayur dagangannya diborong semua.
         "Mak, mak!" teriaknya waktu sampai dirumah. "Aku bawa uang banyak, mak."
         "Dimana tadi berdagang, anakku? Kau pandai sekali!"
         Emaknya memuji. Anak memang harus selalu dipuji jika berhasil. Emaknya segera mendengar cerita yang menarik. Besoknya dia sudah berada ditempat semula. Dengan riangnya dia mendayung diantara kapal- kapal besar.
         "Sayur, sayur," terdengar dia menawarkan. "Nenasny Manis. Jeruknya segar, Sayur, sayur!"
         "Kesini, Buyung. Kesini," suatu suara yang merdu memanggilnya.
         "Ya, mak cik."
         Yang memanggilnya adalah seorang wanita. Dia berpakaian anggun. Gelang emas dan cincin bermata intan menghiasi tangannya.
         "Manisnya Nenasmu, Buyung?"
         "Boleh dicoba, Mak Cik."
         "Bolehlah. Aku mau coba. Bawa sini!"
          Anak itu membuang jangkar. Perahunya tertambat sudah. Seorang kelasi dari anjungan melempar tali dari bawah. Anak, itu dengan tangkas menagkapnya. Lalu, memanjad sisi kapal. Begitu cepat dia memanjat. Orang-orang kagum melihatnya. Nenas dan jeruk dicoba oleh wanita itu. Dia mengangguk-angguk. Rasanya nenas dan jeruk yang manis membuatnya senang. Ia memberi uang lebih anak itu.
          "Besok datang lagi, ya?" pesannya.
          "Ya, mak cik," jawabnya sopan. "Permisi, mak cik. Terima kasih."
          "Ya, Buyung," jawab wanita itu sambil tersenyum.
       

            Penulis: Rachmat Ali
            Sumber: https://services.sportourism.id/fileload/93425499-8cfe-31d2-a32b-9ea02b5fa026.jpg
       
Share:

Raja Parakeet

 

   Tersebutlah kisah, seekor raja burung parakeet hidup beserta rakyatnya disebuah hutan di Aceh. Hidup mereka damai. Kedamaian tersebut tergangggu, karena kehadiran seorang pemburu. Pada suatu hari pemburu tersebut berhasil menaruh perekat di sekitar sangkar - sangkar burung tersebut.
       Mereka berusaha melepaskan sayap dan badan dari perekat tersebut. Namun upaya tersebut gagal. Hampir semuanya panik, kecuali si raja parakeet. Ia berkata, "Saudaraku, tenanglah.
       Ini adalah perekat yang dibuat oleh pemburu. Kalau pemburu itu datang, berpura - puralah mati. Setelah melepaskan perekat, pemburu itu akan memeriksa kita. Kalau ia mendapatkan kita mati, ia akan membuang kita. Tunggulah sampai hitungan keseratus, sebelum kita bersama - sama terbang kembali.
       Keesokan harinya, datanglah pemburu tersebut. Setelah melepaskan perekatnya, ia mengambil hasil tangkapannya. Betapa sangat kecewany, ketika ia tahu burung - burung tersebut sudah tidak bergerak, disangkanya sudah mati. Tapi pemburu itu jatuh terpeleset, sehingga membuat burung - burung yang ada ditanah terkejut dan terbang. Hanya raja parakeet yang belum terlepas dari perekat. Kemudian lapun ditangkap kembali oleh para pemburu tersebut.
       Raja parakeet meminta pada pemburu itu untuk tidak dibunuh. Sebagai imbalannya ia akan selalu menghibur si pemburu. Hampir tiap hari ia bernyanyi dengan merdunya. Kabar kemerduan suara burung itu terdengar sampai ke telinga sang Raja.
       Raja menginginkan burung parakeet tersebut. Sang Raja kemudian menukar burung itu dengan harta benda yang sangat banyak. Di istana sang Raja, burung parakeet ditaruh didalam sebuah sangkar emas. Setiap hari tersedia makanan yang enak - enak.
      Namun burung parakeet tidak bahagia. Ia selalu ingat tuhan Aceh tempat tinggalnya. Pada suatu hari ia pura - pura mati. Sang Raja sangat sedih dan memerintahkan penguburannya dengan upacara kebesaran. Ketika persiapan berlangsung, burung itu diletakkan diluar sangkar. Saat itu ia gunakan untuk terbang mencari kebebasannya. Ia terbang menuju hutan kediamannya. Dimana rakyat burung burung parakeet setia menunggu kedatangannya.


           Penulis: Linda Asy Syifa
Sumber: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDNALIQSmpHuNviTw6tRbQSAbt_jnKFGNRxvGUHf_KPF9X9rLAqS77Wx526X5DRqQm9GIwPy9d-0UVm93o2yduYyAMehkgSlQaZqWIHImBmGJsgVHOmfJ8q2ewoEZZeu1JXY28KKFa5Po/s320/Si+Parkit+Raja+Parakeet.jpg
Share:

SITIHA dan SISITI

 

  Pada suatu hari, dua orang pemuda datang berkunjung ke rumah sitiha dan sisiti.  Mereka terkejut ketika melihat sitiha dan sisiti sedang memberi makan seekor kucing memakai sebuah piring bagus. Biasanya kucing diberi makan diatas daun pisang atau daun keladi. 
      Salah seorang pemuda itu berkata, "mengapa kalian memberi makan kucing menggunakan piring?"
       Dengan malu-malu sitiha menjawab, "karena kucing itu adalah ibu kandung kami."
       Kedua pemuda itu merasa tidak enak hati karena mereka terlanjur menanyakan hal itu kepada sitiha dan sisiti. Tanpa menunggu lebih lama lagi, kedua pemuda itu pun pergi.
       Setelah mendengar kata-kata dua pemuda itu, sitiha dan sisiti merasa dihina karena ibu mereka hanya seekor kucing. Sisiti memaksa sitiha agar mencari ibu lain. Mereka malu mempunyai ibu seekor kucing.
       Kucing itu berkata, "pergilah, nak. Carilah ibu kandung selain kucing hina ini.
        Mereka pun pergi kepada matahari, "Hai matahari. Kami ingin mengangkatmu sebagai ibu kami. Boleh atau tidak?"
        "Boleh, saya sangat senang. Tetapi, ketahuilah bahwa jika awan datang saya akan tertiup awan itu. Oleh karena itu , alangkah baiknya awan menjadi ibu kalian," kata matahari.
        Mereka pergi kepada awan , "Awan, kami hendak mengangkatmu sebagai ibu, boleh atau tidak?"
        "Boleh, tetapi kalau angin datang, saya terempas ke gunung. Menurut pendapatku, lebih baik kalian mengangkat gunung sebagai ibu kalian," kata awan.
        Mereka pun pergi kepada gunung, "Hai gunung, kami mau mengangkatmu sebagai ibu."
        Gunung berkata, "Boleh, tetapi saya mempunyai kelemahan. Coba kamu lihat lereng saya berlubang - lubang. Lubang - lubang itu dibuat oleh tikus. Menurut pendapat saya, lebih baik kalian mengangkat tikus sebagai ibu kalian."
         Mereka pergi ke tempat tikus, "Tikus, kami ingin mengangkatmu sebagai ibu. Boleh atau tidak?"
         "Boleh, dengan senang hati. Tetapi, saya mempunyai musuh besar, yaitu kucing. Semua tikus takut kepada kucing. Saya usulkan, lebih baik kamu berdua mengangkat kucing sebagai ibu," kata tikus itu.
          Sitiha dan sisiti sadar bahwa ibu kandung tidak pernah dapat diganti. Akhirnya, mereka pulang. Ibu mereka senantiasa menunggu kepulangan mereka. Sesampai dirumah, sitiha dan sisiti membelai ibu mereka dengan penuh kasih sayang.


             Penulis: S. Amran Tasal
             Penerbit: PT.Grasindo
            Sumber: https://sumatfeet.files.wordpress.com/2012/01/2-sitihi-and-sisiti-3.jpg
Share:

Alamat Rumah

CERITA RAKYAT DAERAH dan SEJARAH Alamat: karanganyar kec.Kragan kab.Rembang, Prov. Jawa Tengah, Indonesia. Kode Pos,59273. Telp.(+62)895383117894, Website : http://suarifah.blogspot.com

Popular Posts

Total Pageviews

Eko David Kurniawan

saya siswa SMA Negeri 1 Kragan, saya kelas XI MIPA 2, saya memiliki hobi membaca dan menonton film.

Riwayat Pendidikan

saya kecil belajar di SDN Karanganyar
kemudian saya beranjak dewasa di SMP 3 Kragan
dan sekarang sedang belajar di SMA Negeri 1 Kragan

menarik