Raden Fatahillah Berjualan di Pelabuhan


   Samudera pasai tahun 1510.
    Hari masih pagi benar. Seorang anak laki - laki sedang mendayung. Pelan - pelan saja dia menggerakkan tangannya. Perahunya kecil. Terbuat dari kayu bulat yang dilubangi. Orang - orang menyebutnya jukung. Perlengkapannya sederhana saja. Hanya sebuah jangkar dari kayu. Pada ujungnya diikat batu. Sekali dibuang ke dalam air akan menancap pada pasir. Jukung tidak akan bergerak - gerak lagi. Perlengkapan berikutnya adalah dayung. Hanya sebilah. Tetapi, bagi anak laki tersebut sudah cukup memadai. Dia bisa mondar - mandir dari rumahnya ke pelabuhan lalu balik lagi kerumah. Begitu kerjanya tiap hari. Beberapa keping logam didapatnya. Lalu ditukarkan dengan beras dan sekadar lauk - pauk untuk dimasak oleh emaknya.
      Ia dan emaknya tinggal di suatu rumah yang terpencil. Untuk mencapainya harus melalui sungai kecil. Setelah berkelok - kelok barulah sampai. Tampak rumah tersebut berdiri diatas tiang. Waktu air sungai melimpah, jukungnya ditambatkan dekat pintu. Ia dan emak sudah biasa dengan air. Tidak takut. Tidak ragu - ragu. Emaknyalah dulu yang selalu membawa perahu kecil itu ke ladang. Letak ladang di dekat bukit. Bisa ditempuh dengan perahu pula. Di ladang ini emaknya menanam palawija dan buah - buahan. Tiga bulan sekali hasil tanaman dipetik. Lalu, dibawa kepasar. Ia sekarang sudah berumur sepuluh tahun. Ia tidak tega kalau emaknya yang mendayung.
      "Mak," katanya pada suatu hari. "Mak di rumah saja. Biar aku yang pergi. Aku tahu kemana harus mejajakan dagangan. Percayalah padaku, Mak. Pekerjaan ini amat ringan bagiku."
       Emaknya terharu.
       "Hati - hati, anakku," kata emak
       "Doakanlah, mak, agar anakmu selalu selamat dan mendapat untung."
       "Kudoakan siang dan malam, anakku."
       Subuh dia sudah turun dari rumah. Dengan perahunya yang kecil itu dia membelah air. Di atas air itulah kehidupannya pelan - pelan matahari memperlihatkan diri. Lalu, teranglah dunia. Tetapi, kabut pagi masih juga menyelubungi pantai. Suasana tenang. Mula - mula dia menjual dagangnnya ke pasar. Walaupun dagangannya habis terjual, tetapi tidak seberapa besar untungnya.
       "Bagaimana kalau dicoba dipelabuhan?" pikir anak itu kemudian. "Ya, sebaiknya besok kucoba saja kesana."
        Besoknya, dia memenuhi perahunya dengan sayur - mayur, ikan, beberapa sisir pisang, dan durian. Di pelabuhan banyak kapal besar. Kelasi-kelasi kapal menyukai durian. Seketika dibeli semua sepuluh buah. Bukan main senangnya hati anak itu. Dia tinggal menjajakan sayur-mayur beserta ikan-ikannya. Kebetulan pula satu kapal tidak sempat menurunkan juru masaknya ke daratan untuk belanja. Anak itu dipanggil. Sayur-mayur dagangannya diborong semua.
         "Mak, mak!" teriaknya waktu sampai dirumah. "Aku bawa uang banyak, mak."
         "Dimana tadi berdagang, anakku? Kau pandai sekali!"
         Emaknya memuji. Anak memang harus selalu dipuji jika berhasil. Emaknya segera mendengar cerita yang menarik. Besoknya dia sudah berada ditempat semula. Dengan riangnya dia mendayung diantara kapal- kapal besar.
         "Sayur, sayur," terdengar dia menawarkan. "Nenasny Manis. Jeruknya segar, Sayur, sayur!"
         "Kesini, Buyung. Kesini," suatu suara yang merdu memanggilnya.
         "Ya, mak cik."
         Yang memanggilnya adalah seorang wanita. Dia berpakaian anggun. Gelang emas dan cincin bermata intan menghiasi tangannya.
         "Manisnya Nenasmu, Buyung?"
         "Boleh dicoba, Mak Cik."
         "Bolehlah. Aku mau coba. Bawa sini!"
          Anak itu membuang jangkar. Perahunya tertambat sudah. Seorang kelasi dari anjungan melempar tali dari bawah. Anak, itu dengan tangkas menagkapnya. Lalu, memanjad sisi kapal. Begitu cepat dia memanjat. Orang-orang kagum melihatnya. Nenas dan jeruk dicoba oleh wanita itu. Dia mengangguk-angguk. Rasanya nenas dan jeruk yang manis membuatnya senang. Ia memberi uang lebih anak itu.
          "Besok datang lagi, ya?" pesannya.
          "Ya, mak cik," jawabnya sopan. "Permisi, mak cik. Terima kasih."
          "Ya, Buyung," jawab wanita itu sambil tersenyum.
       

            Penulis: Rachmat Ali
            Sumber: https://services.sportourism.id/fileload/93425499-8cfe-31d2-a32b-9ea02b5fa026.jpg
       
Share:

Raja Parakeet

 

   Tersebutlah kisah, seekor raja burung parakeet hidup beserta rakyatnya disebuah hutan di Aceh. Hidup mereka damai. Kedamaian tersebut tergangggu, karena kehadiran seorang pemburu. Pada suatu hari pemburu tersebut berhasil menaruh perekat di sekitar sangkar - sangkar burung tersebut.
       Mereka berusaha melepaskan sayap dan badan dari perekat tersebut. Namun upaya tersebut gagal. Hampir semuanya panik, kecuali si raja parakeet. Ia berkata, "Saudaraku, tenanglah.
       Ini adalah perekat yang dibuat oleh pemburu. Kalau pemburu itu datang, berpura - puralah mati. Setelah melepaskan perekat, pemburu itu akan memeriksa kita. Kalau ia mendapatkan kita mati, ia akan membuang kita. Tunggulah sampai hitungan keseratus, sebelum kita bersama - sama terbang kembali.
       Keesokan harinya, datanglah pemburu tersebut. Setelah melepaskan perekatnya, ia mengambil hasil tangkapannya. Betapa sangat kecewany, ketika ia tahu burung - burung tersebut sudah tidak bergerak, disangkanya sudah mati. Tapi pemburu itu jatuh terpeleset, sehingga membuat burung - burung yang ada ditanah terkejut dan terbang. Hanya raja parakeet yang belum terlepas dari perekat. Kemudian lapun ditangkap kembali oleh para pemburu tersebut.
       Raja parakeet meminta pada pemburu itu untuk tidak dibunuh. Sebagai imbalannya ia akan selalu menghibur si pemburu. Hampir tiap hari ia bernyanyi dengan merdunya. Kabar kemerduan suara burung itu terdengar sampai ke telinga sang Raja.
       Raja menginginkan burung parakeet tersebut. Sang Raja kemudian menukar burung itu dengan harta benda yang sangat banyak. Di istana sang Raja, burung parakeet ditaruh didalam sebuah sangkar emas. Setiap hari tersedia makanan yang enak - enak.
      Namun burung parakeet tidak bahagia. Ia selalu ingat tuhan Aceh tempat tinggalnya. Pada suatu hari ia pura - pura mati. Sang Raja sangat sedih dan memerintahkan penguburannya dengan upacara kebesaran. Ketika persiapan berlangsung, burung itu diletakkan diluar sangkar. Saat itu ia gunakan untuk terbang mencari kebebasannya. Ia terbang menuju hutan kediamannya. Dimana rakyat burung burung parakeet setia menunggu kedatangannya.


           Penulis: Linda Asy Syifa
Sumber: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDNALIQSmpHuNviTw6tRbQSAbt_jnKFGNRxvGUHf_KPF9X9rLAqS77Wx526X5DRqQm9GIwPy9d-0UVm93o2yduYyAMehkgSlQaZqWIHImBmGJsgVHOmfJ8q2ewoEZZeu1JXY28KKFa5Po/s320/Si+Parkit+Raja+Parakeet.jpg
Share:

SITIHA dan SISITI

 

  Pada suatu hari, dua orang pemuda datang berkunjung ke rumah sitiha dan sisiti.  Mereka terkejut ketika melihat sitiha dan sisiti sedang memberi makan seekor kucing memakai sebuah piring bagus. Biasanya kucing diberi makan diatas daun pisang atau daun keladi. 
      Salah seorang pemuda itu berkata, "mengapa kalian memberi makan kucing menggunakan piring?"
       Dengan malu-malu sitiha menjawab, "karena kucing itu adalah ibu kandung kami."
       Kedua pemuda itu merasa tidak enak hati karena mereka terlanjur menanyakan hal itu kepada sitiha dan sisiti. Tanpa menunggu lebih lama lagi, kedua pemuda itu pun pergi.
       Setelah mendengar kata-kata dua pemuda itu, sitiha dan sisiti merasa dihina karena ibu mereka hanya seekor kucing. Sisiti memaksa sitiha agar mencari ibu lain. Mereka malu mempunyai ibu seekor kucing.
       Kucing itu berkata, "pergilah, nak. Carilah ibu kandung selain kucing hina ini.
        Mereka pun pergi kepada matahari, "Hai matahari. Kami ingin mengangkatmu sebagai ibu kami. Boleh atau tidak?"
        "Boleh, saya sangat senang. Tetapi, ketahuilah bahwa jika awan datang saya akan tertiup awan itu. Oleh karena itu , alangkah baiknya awan menjadi ibu kalian," kata matahari.
        Mereka pergi kepada awan , "Awan, kami hendak mengangkatmu sebagai ibu, boleh atau tidak?"
        "Boleh, tetapi kalau angin datang, saya terempas ke gunung. Menurut pendapatku, lebih baik kalian mengangkat gunung sebagai ibu kalian," kata awan.
        Mereka pun pergi kepada gunung, "Hai gunung, kami mau mengangkatmu sebagai ibu."
        Gunung berkata, "Boleh, tetapi saya mempunyai kelemahan. Coba kamu lihat lereng saya berlubang - lubang. Lubang - lubang itu dibuat oleh tikus. Menurut pendapat saya, lebih baik kalian mengangkat tikus sebagai ibu kalian."
         Mereka pergi ke tempat tikus, "Tikus, kami ingin mengangkatmu sebagai ibu. Boleh atau tidak?"
         "Boleh, dengan senang hati. Tetapi, saya mempunyai musuh besar, yaitu kucing. Semua tikus takut kepada kucing. Saya usulkan, lebih baik kamu berdua mengangkat kucing sebagai ibu," kata tikus itu.
          Sitiha dan sisiti sadar bahwa ibu kandung tidak pernah dapat diganti. Akhirnya, mereka pulang. Ibu mereka senantiasa menunggu kepulangan mereka. Sesampai dirumah, sitiha dan sisiti membelai ibu mereka dengan penuh kasih sayang.


             Penulis: S. Amran Tasal
             Penerbit: PT.Grasindo
            Sumber: https://sumatfeet.files.wordpress.com/2012/01/2-sitihi-and-sisiti-3.jpg
Share:

Alamat Rumah

CERITA RAKYAT DAERAH dan SEJARAH Alamat: karanganyar kec.Kragan kab.Rembang, Prov. Jawa Tengah, Indonesia. Kode Pos,59273. Telp.(+62)895383117894, Website : http://suarifah.blogspot.com

Popular Posts

Total Pageviews

Eko David Kurniawan

saya siswa SMA Negeri 1 Kragan, saya kelas XI MIPA 2, saya memiliki hobi membaca dan menonton film.

Riwayat Pendidikan

saya kecil belajar di SDN Karanganyar
kemudian saya beranjak dewasa di SMP 3 Kragan
dan sekarang sedang belajar di SMA Negeri 1 Kragan

menarik